TAFSIR MAUDHU’I
(TEMATIK) IBADAH
IDUL FITRI
Oleh: Fitra Jaya, Sept. A & M. Irfan Hidayat
A. PENDAHULUAN
Shalat merupakan kewajiban hamba Allah Swt yang beriman.
Bentuknya adalah serangkaian gerakan dan do’a dengan menghadapkan wajahnya
kepada Yang Maha Pencipta. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali
diperhitungkan dan pertama kali dihisab di hari akhir. Di dalam ibadah shalat
ada dua macam bentuk, yaitu: shalat wajib dan shalat sunat. Salah satu sholat
sunnat adalah shalat ‘ied.Shalat ‘ied dalam islam ada dua
yaitu sholat idul fitri dan sholat idul adha. Idul Fitri maupun
Idul Adha telah menjadi “ibadah tahunan” bagi umat Islam di seluruh dunia, yang
menjadikan momentum kedua hari raya ini sebagai hari “kemenangan” dan hari
“besar” setelah perjuangan yang melelahkan menghadapi cobaan selama menjalankan
ibadah puasa Ramadhan dan saat berkumpul serta bersatunya umat Islam di seluruh
dunia dalam menjalankan ibadah haji dan berkurban dijalan Allah.
Idul Fitri adalah hari raya yang telah jelas pelaksanaannya
disesuaikan dengan syari’at Islam dan sebagai syi’ar agama yang
senyata-nyatanya. Lalu apakah makna sebenarnya dari Idul Fitri? Akan kami
jelaskan pada uraian berikut.
B.
PEMBAHASAN
1. QS.
Al-Baqoroh: 185
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya
diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.
2. Tafsir
Ayat
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
Artinya: Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah ketika kalian
telah melengkapi bilangan bulan itu.[1]
a.
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili[2]
Menurut
Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya Al-Munir, firman Allah Ta’ala وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ menunjukkan imbauan
untuk bertakbir pada akhir bulan Ramadhan, menurut mayoritas ahli takwil. Jadi,
ayat ini adalah dalil pensyariatan takbir pada hari Idul Fitri. Lafadz takbir
menurut Malik dan sejumlah Ulama’ adalah: Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu
akbar (3x). Diantara para Ulama’ ada yang bertakbir, dan bertahlil, serta
bertasbih pada waktu bertakbir. Ada pula yang membaca seperti berikut: Allahu
akbar kabiran, wal-hamdu lil-laahi katsiran, wasubhanal-laahi bukratan wa
ashilan.
Adapun
tentang waktu bertakbir dan temponya, Abu Hanifah dan Malik berkata: Dianjurkan
bertakbir pada hari Idul Fitri dengan berangkat dari rumahnya menuju tempat
shalat Id. Apabila shalat telah selesai, berarti Id sudah berakhir. Sedangkan
Syafi’i dan Ahmad berkata: Dianjurkan
bertakbir pada waktu kapanpun sesudah shalat dan pada masa kapanpun sejak
terbenamnya matahari pada malam menjelang hari Id hingga pelaksanaan shalat Id.
Dengan kata lain, sejak terlihatnya hilal Syawwal sampai munculnya Imam untuk
memimpin shalat Id.
b.
Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi[3]
Seorang yang
telah selesai berpuasa akan merasakan pencerahan didalam dirinya. Ketika itulah
hamba tersebut disuruh untuk bertakbir mengagungkan Allah. Pencerahan yang ia
dapatkan sebagai hasil dari puasa harus disyukuri dengan bertakbir kepadanya.
Takbir atau Allahu
Akbar merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat pencerahan itu. Pencerahan
yang dirasakan oleh hamba tersebut merupakan modal utama bagi dirinya untuk
mengarungi gelombang kehidupan ini dan sebagai senjata melawan segala kejahatan
hawa nafsu. Dengan demikian tanpa disadari hamba tersebut kembali menyerahkan
dirinya kepada sang pencipta (Allah) dalam bentuk do’a. Oleh karena itu, ayat
selanjutnya menerangkan tentang do’a.
c.
Syaikh Imam Al-Qurthubi[4]
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ “dan hendaklah kamu mengagungkan Allah,” athaf
kepada kalimat sebelumnya. Maknanya
adalah anjuran untuk bertakbir diakhir bulan Ramadhan, menurut pendapat jumhur
ahli ta’wil.
Para Ulama’ berbeda pendapat seputar waktunya. As-Syafi’i
berkata, Diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, Urwah dan Abu Salamah, bahwa
mereka bertakbir pada malam hari raya fitri dan bertahmid. As-Syafi’i berkata
dan sama dengan hari raya kurban.
Ibnu Abbas berkata, “Pantas bagi kaum mslim apabila
mereka melihat hilal Syawwal untuk bertakbir.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “
Seorang boleh bertakbir sejak melihat hilal sampai selesai khutbah, berhenti
waktu keluarnya imam dan kembali bertakbir dengan takbirnya imam.”
Zaid bin Aslam berkata, “Mereka bertakbir apabila mereka
menuju tempaat shalat. Lalu apabila shalat sudah dilaksankan maka hari rayapun
berakhir.” Ini adalah madzhab Malik. Malik berkata, “ Takbir dari ketika
seseorang keluar dari rumahnya sampai imam keluar.
d.
Syaikh H. Abdul Halim Hasan[5]
“Dan agar kamu mengagungkan Allah atas apa yang telah
ditunjukkannya kepadamu”artinya ialah supaya kamu mengucapkan takbir setelah
selesai mengerjakan puasa Ramadhan. Menuerut keterangan sebagian ulama’ waktu
mengucapkan takbir itu mulai dari malam berbuka, yaitu sejak melihat atau
memandang bulan (hilal) sampai waktu khutbah.
Menurut Malik, “Sejak imam keluar dari rumahnya sampai
tempat shalat”. Abu Hanifah mengatakan, bahwa takbir itu hanya pada hari raya
kurban, tidak pada hari raya fitri. Syafi’i berkata, “Sejak malam hari raya
sampai imam mengerjakan shalat, baik hari raya fitri maupun hari raya adha.” Telah
meriwayatkan Sa’id bin Mansur dan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Mas’ud, bahwa
takbir itu dengan mengucapkan ucapan , “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akabr, La ilaaha illallah wa lillahil hamd”
3. Definisi Idul Fitri
a. Makna kata Id
Id secara
bahasa berasal dari kata عاد – يعود,
yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara
berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi
mengatakan,[6]
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya
dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru.
Ada juga
yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata العادة,
yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu
dengan kebiasaan dan adat mereka.
Sedangkan
dalam Al-Qur’an kata Id tertera pada surat Al-Maidah ayat 114,
قَالَ عِيسَى
ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ
تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا
وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami
turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya)
akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang
datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah
kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".
Secara
mufradat Wahbah Zuhaili mengartikan kata عِيدًا
adalah hari ketika kami bergembira, mengagumkan, dan memuliakannya. Jika
menengok pada penafsiran ayat diatas dapat kita ketahui bahwa adanya permintaan
dari Nabi Isa yang kemudian dikabulkan oleh Allah, hal ini sebagai sebuah dalil
yang kuat bagi mereka. Jika mereka menyimpang, mereka akan diberikan adzab. Isa
berkata, “Wahai Tuhan kami, yang memiliki urusan kami dan berkuasa atas kami,
turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang dapat dilihat oleh mereka
agar hal itu menjadi sebuah hari raya. Ada yang mengatakan itu adalah hari
Ahad. Oleh karena itu orang-orang Nasrani menjadikannya sebagai hari raya.[7]
Hari
raya ini akhirnya diterapkan juga bagi orang-orang yang ada di zaman kami, penganut
agama kami,maksudnya ketika zaman Nabi Isa pada saat itu dan orang-orang yang
datang setelah kami, yaitu orang-orang atau kaum setelah zaman kaum Nabi Isa.
b.
Makna kata Fitri
Kata
Fitrah dalam Al-Qur’an Allah sebutkan,
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Allah SWT berfirman, maka perkokohlah pandanganmu dan
istiqomahlah di atas agama yang telah disyari’atkan Allah kepadamu, berupa
kesucian millah Ibrahim a.s yang Allah bimbing kamu kepadanya dan disempurnakan
Allah agama itu untukmu dengan sangan sempurna. Disamping itu hendakya engkau
konsekuen terhadap fitrah lurusmunyang difitrahkan Allah atas makhluk-Nya.
Karena Allah telah memfitrahkan makhluknya untuk mengenal dan mengesakan-Nya
yang tidak ada Ilah (yang haaq) selain-Nya, sebagaimana penjelasan yang lalu
dalam firmannya:
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ
قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا
Dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (QS.
Al-A’raaf: 172)
Dalam bahasa Arab, kata fithrah (فطرة) dan fithr (فطر) juga nyaris mirip,
tapi punya arti berbeda.
Fithrah (فطرة).
Jumlah hurufnya ada empat yaitu fa', tha', ra' dan ta' marbuthah. Umumnya
fithrah diartikan oleh para ulama sebagai kesucian atau juga bermakna agama
Islam. Sedangkan kata fithr (فطر) sangat berbeda
maknanya dari kata fithrah. Memang sekilas keduanya punya kemiripan. Tetapi
coba perhatikan baik-baik, ternyata kata fithr itu hurufnya cuma ada tiga saja,
yaitu fa', tha' dan ra', tanpa tambahan huruf ta' marbuthah di belakangnya.
Sesungguhnya kata 'Idul Fithri'
itu bukan bermakna kembali kepada kesucian, tetapi adalah Hari Raya Makanan.
Dan hari raya Islam yang satunya
lagi adalah Idul Adha, tentu maknanya bukan kembali kepada Adha, sebab artinya
akan jadi kacau, karena kembali kepada hewan qurban? Idul Adha artinya adalah
hari raya qurban (hewan sembelihan).
Bahwa setelah sebulan berpuasa
kita harus kembali menjadi suci, mencusikan hati, mensucikan pikiran dan
mensucikan semuanya, tentu memang harus. Hanya saja, jangan kemudian main paksa
istilah yang kurang tepat. Kita harus kembali suci, lalu ungkapan 'Idul Fithri'
dipaksakan berubah makna menjadi 'kembali suci'.
Memang sejatinya pada hari itu
umat Islam diwajibkan untuk makan dan haram untuk berpuasa. Berpuasa para
tanggal 1 Syawwal justru haram dan berdosa bisa dilakukan. Dan sunnahnya, makan
yang menjadi ritual itu dilakukan justru sebelum kita melaksanakan shalat Idul
Fithri.
Dan oleh karena itulah kita
mengenal syariat memberi zakat al-fithr, yang maknanya adalah zakat dalam
bentuk makanan. Tujuannya sudah jelas, agar tidak ada yang tersisa dari orang
miskin yang berpuasa hari itu dengan alasan tidak punya makanan. Dengan adanya
zakat al-fithr, maka semua orang bisa makan di hari itu. Dan hari raya umat
Islam disebut dengan 'Iedul Fithr, yang secara harfiyah bermakna hari raya
untuk makan.
4. Dasar Hukum Sholat ‘Ied
Menurut
pendapat ulama fiqh, ada tiga pendapat mengenai hukum sholat ‘Ied
ada tiga yaitu:
1) Fardhu
kifayah,
2) Wajib
3) Sunnah
.
Pertama, menurut
pendapat ulama Hanbali, sholat ied memiliki hukum fardhu kifayah dikarenakan
sholat ‘ied cukup dilaksanakan oleh beberapa orang saja. Sesuai dengan
Qs. Al-Kausar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkorbanlah
Kedua, menurut
pendapat ulama Hanafiyah, sholat ‘ied memiliki hukum wajib diperuntukkan bagi
mereka-mereka yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan sholat Jum’at.
Ketiga, menurut
ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, sholat ‘ied memiliki hukum sunnah muakad sebab
senantiasa dilakukan oleh Rasulullah setiap tahunnya.
C. KESIMPULAN
Firman
Allah Ta’ala وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
menunjukkan imbauan untuk bertakbir pada akhir bulan Ramadhan, menurut
mayoritas ahli takwil. Jadi, ayat ini adalah dalil pensyariatan takbir pada
hari Idul Fitri. Lafadz takbir menurut Malik dan sejumlah Ulama’ adalah:
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar (3x).
Adapun
tentang waktu bertakbir dan temponya, Abu Hanifah dan Malik berkata: Dianjurkan
bertakbir pada hari Idul Fitri dengan berangkat dari rumahnya menuju tempat
shalat Id. Apabila shalat telah selesai, berarti Id sudah berakhir. Sedangkan
Syafi’i dan Ahmad berkata: Dianjurkan
bertakbir pada waktu kapanpun sesudah shalat dan pada masa kapanpun sejak
terbenamnya matahari pada malam menjelang hari Id hingga pelaksanaan shalat Id.
Dengan kata lain, sejak terlihatnya hilal Syawwal sampai munculnya Imam untuk
memimpin shalat Id.
Umumnya memaknai kata "id"
dengan "kembali" dan kata "Fitri" berarti "fitrah,
kesucian, asal kejadian", sehingga idul fitri bermaknakan kembali ke
kondisi fitrah, bersih tanpa noda dan dosa seperti bayi yang baru dilahirkan. Sesungguhnya
kata 'Idul Fithri' itu bukan bermakna kembali kepada kesucian,
tetapi adalah Hari Raya Makanan.
Dasar
hukum shalat Ied menurut pendapat ulama fiqh,
ada tiga pendapat mengenai hukum sholat ‘Ied ada tiga
yaitu:
1) Fardhu
kifayah,
2) Wajib
3) Sunnah
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir
Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid I dan
IV,
(Depok: Gema Insani, 2013)
Jamaris, Zaenal
Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan
Kaifiyat dan Latar
Filosofinya, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996).
Az-Zuhaili,
Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu , Terj. Masdar Helmy,
“Fiqih Shalat Kajian Berbagai Mazhab”,
(Bandung: CV. Pustaka Media Utama, 2004).
Mutawalli
Sya’rawi, Syaikh Muhammad. Tafsir Sya’rawi, Terj. Tim Terjemah
Safari
al-Azhar, (Jakarta: Duta Azhar, 2004)
Al-Qurthubi,
Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi, Terj. Fatirrahman, Ahmad Hotib,
(Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007)
Halim Hasan,
Syaikh Abdul. Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,
2006)
[1]
Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 1,
(Depok: Gema Insani, 2013) 378.
[2]
Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 1,
(Depok: Gema Insani, 2013) 378
[3] Syaikh Muhammad
Mutawalli Sya’rawi Tafsir Sya’rawi, Terj. Tim Terjemah Safari al-Azhar,
(Jakarta: Duta Azhar, 2004) 588
[4] Syaikh Imam Al-Qurthubi
Tafsir Al-Qurthubi, Terj. Fatirrahman, Ahmad Hotib, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007) 697-698
[6]
Zaenal Arifin Jamaris, Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan
Kaifiyat dan Latar Filosofinya, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), 257.
[7]
Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir; Akidah, Syariah, dan Manhaj Jilid IV,
(Depok: Gema Insani, 2013) 125.
Gambling and gambling with virtual reality (VR) - Dr.MD
BalasHapusAn immersive VR experience that's 순천 출장마사지 helping to redefine the gaming 경기도 출장마사지 industry, the industry is changing how we interact 순천 출장샵 with 서산 출장샵 people, and is changing how we interact 경상남도 출장안마