PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah mukjizat bagi umat Islam yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia.
Al-Qur’an sendiri dalam proses penurunannya mengalami banyak proses, yang mana
dalam penurunannya itu berangsur-angsur dan bermacam-macam peristiwa. Kita
mengenal mengenal tuerunnya Al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan. Maka setiap
tanggal 17 bulan Ramadhan kita mengenal yang namanya Nuzulul Qur’an yaitu hari
turunnya Al-Qur’an.
Mengetahui latar belakang turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an, akan menimbulkan banyak prespektif dan menimbulkan banyak khazanah
perbendaharaan pengetahuan baru. Dengan mengetahui hal tersebut kita akan lebih
memahami arti dan makna ayat-ayat itu dan akan menghilangkan segala
keraguan-keraguan dalam menafsirkannya. Dalam penurunan Al-Qur’an terjadi di
dua kota yaitu Makkah dan Madinah. Surat yang turun di Makkah disebut dengan
surat Makiyah, sedangkan surat yang turun di Madinah disebut surat Madaniyah.
Asbabun Nuzul adalah salah satu Ilmu yang harus
dipelajari bagi seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an lebih mendalam.
Namun Asbabun Nuzul hanya disebutkan atau diriwayatkan melalui pendapat bukan
pencatatan yang langsung dari zaman Nabi.
PEMBAHASAN
A. Terjemahan
Surat An-Nisa ayat 59[1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
( Q.S An-Nisa: 59)
B.
Mufradat[2]
أطيعوا : Taatlah
تنٰزعتم : (kalian)
Berselisih
تأويلاً : Kesudahan/ Akibatnya
يا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (59)
قوله تعالى:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ في سبب
نزولها قولان:
أحدهما: أنها
نزلت في عبد الله بن حُذافة بن قيس السّهمي إِذ بعثه النبي صلّى الله عليه وسلّم
في سريّة، أخرجه البخاري، ومسلم، من حديث ابن عباس.
والثاني: أن
عمّار بن ياسر كان مع خالد بن الوليد في سريّة، فهرب القوم، ودخل رجلٌ منهم على
عمار، فقال: إِني قد أسلمتُ، هل ينفعني، أو أذهب كما ذهب قومي؟ قال عمار: أقم فأنت
آمن، فرجع الرجل، وأقام فجاء خالد، فأخذ الرجل، فقال عمّار: إِني قد أمنته، وإِنه
قد أسلم، قال: أتجير علي وأنا الأمير؟ فتنازعا، وقدما على رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم، فنزلت هذه الآية، رواه أبو صالح، عن ابن عباس.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat
ini (S. 4:59) berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qois ketika diutus
oleh Nabi saw. memimpin suatu pasukan. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya
yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas.[4]
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengirim
sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah) dibawah komando Khalid bin Al-Walid. Di antara mereka ada Ammar
bin Yasir. Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan
ketika sudah dekat, mereka pun berhenti (untuk istirahat).
Setelah itu datang kepada kaum tersebut Dzul
Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan kedatangn pasukan Khalid.
Mereka pun lari semua kecuali seorang laki-laki. Ia menyuruh keluarganya untuk
mengumpulkan barang-barangnya kemudian dia berjalan di kegelapan malam hingga
sampai di pasukan Khalid. Di sana ia bertanya
tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin Yasir) dan
bertanya kepadanya : "Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku
telah Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali
Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah
lari ketika mendengar kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal.
Apakah Islamku bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak akupun
lari." Ammar berkata: "Ya, keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka
tetaplah kamu di tempat." Maka laki-laki itupun menetap. Ketika pagi
datang, Khalid bin Walid menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain
laki-laki tadi. Maka dia ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan)
tersebut akhirnya sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid
seraya berkata: "lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah
Islam dan dia dalam jaminan keamanan dariku." Kemudian Khalid bertanya, "kenapa
kamu lindungi dia?" maka keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya
kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shalallahu 'alaihi
wa sallam membolehkan jaminan keamanan dari Ammar tetapi melarang Ammar untuk
melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya. Maka Allah menurunkan ayat
yang artinya: "Taatilah kepada Allah dan taatilah kepada Rasul dan Ulil
Amri di antara kalian”.[5]
Menurut Imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalah
gunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin Hudzafah itu
adalah sebagai berikut: “Disaat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia
menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya.
Pada waktu itu sebagian menolak dan sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke
dalam api”. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat
ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedangkan pada waktu
lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini diturunkan sesudahnya, maka berdasarkan
hadis yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf
(kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa mereka tidak taat.[6]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa maksud kisah
Abdullah bin Hudzafah, munasabah disangkut-pautkan dengan alasan turunnya ayat
ini (S, 4:59), karena dalam kisah itu dituliskan adanya perbatasan antara taat
pada perintah (pimpinan) dan menolak perintah, untuk terjun kedalam api. Disaat
itu mereka perlu akan petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Ayat ini (S,
4:59) turun memberikan peunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.[7]
Menurut Ibnu Jarir bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan ‘Ammar bin Yasir yang melindungi seseorang tawanan tanpa perintah
Panglimanya (Khalid bin Walid) sehingga mereka berselisih. [8]
D. Penafsiran
Surat An-Nisa ayat 59
Sayyid Quthb dalam kitabnya Tafsir fi Zhilalil Qur’an,
beliau menerangkan. Sesungguhnya kedaulatan hukum itu hanya milik Allah, bagi
kehidupan manusia, dalam urusan yang besar maupun yang kecil. Untuk semua itu
Allah telah membuat syariat yang dituangkannya dalam Al-Qur’an dan diutus-Nya
Rasul yang tidak pernah berbicara memperturutkan hawa nawa nafsunya untuk
menjelaskannya kepada manusia. Oleh karena itu syariat Rasulullah SAW termasuk
syariat Allah.
Allah wajib ditaati. Diantara hak prerogatif
uluhiyah ialah membuat syariat. Maka, syariat-Nya wajib dilaksanakan.
Orang-orang yang beriman wajib taat kepada Allah sejak semula dan wajib taat
pula kepada Rasulullah karena tugasnya itu, yaitu tugas mengemban risalah dari
Allah. Karena itu mentaati Rasul berati mentaati Allah yang telah mengutusnya
untuk membawa syariat dan menjelaskannya kepada manusia di dalam sunnahnya.
Sunnah dan keputusan beliau dalam hal ini adalah bagian dari syariat Allah yang
wajib dilaksanakan. Iman itu ada atau tidak adanya bergantung pada ketaatan dan
pelaksanaan syariat ini, sebagaimana dinyatakan dalam nash Al-Qur’an, “Jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adapun mengenai Ulil Amri, nash tersebut menjelaskan
siapa mereka itu,
“Serta Ulil
Amri di antara kamu” [9]
Maksudnya, Ulil
Amri dari kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam
yang dijelaskan dalam ayat itu, yaitu Ulil Amri yang taat kepada Allah dan
Rasul. Juga Ulil Amri yang mengesakan Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan
hukum dan hak membuat syariat bagi seluruh umat manusia, menerima hukum
dari-Nya saja (sebagai sumber dari segala sumber hukum) sebagaimana ditetapkan
dalam nash, serta mengembalikan kepada-Nya segala urusan yang diperselisihkan
oleh akal pikiran dan pemahaman mereka yang tidak terdapat nash padanya untuk
menerapkan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam nash.
Nash ini menetapkan bahwa taat kepada Allah SWT
merupakan pokok. Demikian juga taat kepada Rasul, karena beliau diutus oleh
Allah. Sedangkan taat kepada Ulil Amri Minkum hanya mengikuti ketaatan
kepada Allah dan Rasul. Karena itulah lafadz taat (athi’u) tidak
diulangi ketika menyebut Ulil Amri, sebagaimana ia diulangi ketika menyebut
Rasul SAW, untuk menetpkan bahwa taat kepada Ulil Amri ini sebagai bentuk
pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul, sesudah menetapkan bahwa Ulil
Amri itu adalah “minkum” dari kalangan kamu sendiri, dengan catatan dia
beriman dan memenuhi syarat-syarat iman.
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Tafsir Al-Munir
beliau juga mengatakan, apabila ada pertentangan dan perbedaan pendapat anatara
kalian dengan Ulil Amri dalam masalah agama dan penyelesaiannya tidak ada dalam
Al-Qur’an ataupun Sunnah, hendaknya masalah itu dicarikan rujukan dengan
berpatokan kepada kaidah-kaidah umum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Pendapat dengan kaidah umum dapat dilaksanakan, sedangkan yang bertentangan
dengan kaidah umum tersebut harus ditinggalkan. Cara seperti ini dalam ilmu
ushul Fiqh diistilahkan dengan prosedur qiyas.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang di maksud
Ulil Amri para pemimpin dan panglima
perang. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulul-Amri adalah
para ulama yang bertugas menerapkan hukum-hukum syara’ kepda manusia. Adapun
Syi’ah Imamiyyah menjelaskan bahwa yang dimaksud Ulil Amri adalah para pemimpin
yang ma’shum.
Ibnu Al-Arabi berkata, “Menurutku”, pendapat yang
tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa maksud Ulil Amri adalah para
pemimpin dan para Ulama. Para pemimpin mempunyai kewajiban untuk memerintah dan
menetapkan hukum. Adapun Ulama adalah orang yang berkompoten untuk ditanya
(dalam permasalahan agama). Dia wajib menjawab dan fatwanya wajib dilaksanakan.[10]
Ar-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil
Amri adalah Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi (sekumpulan pakar yang mempunyai
tugas menetapkan aturan atau membatalkannya). Dengan demikian, ayat tersebut
menjadi dalil bagi ijma’ ulama.[11]
KESIMPULAN
Walaupun ada
orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman
selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul.
”Maka demi
Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka manjadikan engkau (Muhammad)
sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (Q.S An-Nisa: 65).
Abu Hurairah
menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW, berkata,
من أطا عني فقد أطاع الله, ومن عصاني فقد عصى الله, ومن يطع أميري فقد أطاع
ني, ومن يعص أميري فقد عصاني.
“Barang siapa taat kepadaku, dia
taat kepda Allah, dan barang siapa menetangku, dia menentang Allah, dan barang
siapa taat kepda amirku maka dia taat kepdaku, dan barang siapa menentang
amirku, maka dia menentangku.” (HR Bukhari dan Muslim)
DAFTAR
PUSTAKA
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Al-Qur’an Kemenag, (Jakarta,2015)
Al-Qur’an dan Terjemahannya Perkata
Al-Wadi’i, Muqbil bin Hadi, As-Shahih Al-Musnad Min Asbab An-Nuzul, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007)
Shaleh, Qamaruddin, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro, 1995)
Ibnu Jauziy, Jamaluddin, Zadu Al-Masir fi Ilmi Tafsir, (Lebanon: Dar
Al- Kotob Al-Ilmiyah,
2002)
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,
2001)
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2016)
[1]
Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an Kemenag, 2016
[2]
Al-Qur’an dan
Terjemahannya Perkata
[3]
Ibnu Jauziy,
Zaadu al-Masir fi Ilmi Tafsir, juz 1
[4]
Qomaruddin
Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, Hal. 139
[5]
http://www.dakwahpost.com/2016/12/tafsir-at-thabari-asbabun-nuzul-sebab-turunnya-ayat-59-surat-annisa.html
[7]
Qomaruddin
Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, Hal. 139
[8] Qomaruddin
Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, Hal. 139
[9]
Sayyid Quthb, Tafsir
fi Zhilalil Qu’an, Jakarta: Gema Insani, jilid 2, hal. 399
[10]
Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jakarta: Gema Insani, Jilid 3, hal. 141
[11]
Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jakarta: Gema Insani, Jilid 3, hal. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar