Minggu, 26 November 2017

Makalah Asbabun Nuzul Surat An-Nisa (Ayat:59)

PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah mukjizat bagi umat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia. Al-Qur’an sendiri dalam proses penurunannya mengalami banyak proses, yang mana dalam penurunannya itu berangsur-angsur dan bermacam-macam peristiwa. Kita mengenal mengenal tuerunnya Al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan. Maka setiap tanggal 17 bulan Ramadhan kita mengenal yang namanya Nuzulul Qur’an yaitu hari turunnya Al-Qur’an.
Mengetahui latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, akan menimbulkan banyak prespektif dan menimbulkan banyak khazanah perbendaharaan pengetahuan baru. Dengan mengetahui hal tersebut kita akan lebih memahami arti dan makna ayat-ayat itu dan akan menghilangkan segala keraguan-keraguan dalam menafsirkannya. Dalam penurunan Al-Qur’an terjadi di dua kota yaitu Makkah dan Madinah. Surat yang turun di Makkah disebut dengan surat Makiyah, sedangkan surat yang turun di Madinah disebut surat Madaniyah.
Asbabun Nuzul adalah salah satu Ilmu yang harus dipelajari bagi seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an lebih mendalam. Namun Asbabun Nuzul hanya disebutkan atau diriwayatkan melalui pendapat bukan pencatatan yang langsung dari zaman Nabi.
PEMBAHASAN
A.    Terjemahan Surat An-Nisa ayat 59[1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ( Q.S An-Nisa: 59)
B.     Mufradat[2]
أطيعوا : Taatlah
تنٰزعتم : (kalian) Berselisih
تأويلاً : Kesudahan/ Akibatnya
C.   Asbabun Nuzul[3]
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (59)
قوله تعالى: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ في سبب نزولها قولان:
أحدهما: أنها نزلت في عبد الله بن حُذافة بن قيس السّهمي إِذ بعثه النبي صلّى الله عليه وسلّم في سريّة، أخرجه البخاري، ومسلم، من حديث ابن عباس.
والثاني: أن عمّار بن ياسر كان مع خالد بن الوليد في سريّة، فهرب القوم، ودخل رجلٌ منهم على عمار، فقال: إِني قد أسلمتُ، هل ينفعني، أو أذهب كما ذهب قومي؟ قال عمار: أقم فأنت آمن، فرجع الرجل، وأقام فجاء خالد، فأخذ الرجل، فقال عمّار: إِني قد أمنته، وإِنه قد أسلم، قال: أتجير علي وأنا الأمير؟ فتنازعا، وقدما على رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، فنزلت هذه الآية، رواه أبو صالح، عن ابن عباس.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (S. 4:59) berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qois ketika diutus oleh Nabi saw. memimpin suatu pasukan. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas.[4]
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengirim sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah) dibawah komando Khalid bin Al-Walid. Di antara mereka ada Ammar bin Yasir. Mereka kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika sudah dekat, mereka pun berhenti (untuk istirahat). 
Setelah itu datang kepada kaum tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan kedatangn pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali seorang laki-laki. Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan barang-barangnya kemudian dia berjalan di kegelapan malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di sana ia bertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin Yasir) dan bertanya kepadanya : "Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku telah Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah lari ketika mendengar kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak akupun lari." Ammar berkata: "Ya, keislamanmu akan bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat." Maka laki-laki itupun menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi. Maka dia ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan) tersebut akhirnya sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya berkata: "lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam dan dia dalam jaminan keamanan dariku." Kemudian Khalid bertanya, "kenapa kamu lindungi dia?" maka keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam membolehkan jaminan keamanan dari Ammar tetapi melarang Ammar untuk melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya. Maka Allah menurunkan ayat yang artinya: "Taatilah kepada Allah dan taatilah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian”.[5]
Menurut Imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalah gunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin Hudzafah itu adalah sebagai berikut: “Disaat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian menolak dan sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api”. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedangkan pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini diturunkan sesudahnya, maka berdasarkan hadis yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa mereka tidak taat.[6]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin Hudzafah, munasabah disangkut-pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (S, 4:59), karena dalam kisah itu dituliskan adanya perbatasan antara taat pada perintah (pimpinan) dan menolak perintah, untuk terjun kedalam api. Disaat itu mereka perlu akan petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Ayat ini (S, 4:59) turun memberikan peunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.[7]
Menurut Ibnu Jarir bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir yang melindungi seseorang tawanan tanpa perintah Panglimanya (Khalid bin Walid) sehingga mereka berselisih. [8]
D.    Penafsiran Surat An-Nisa ayat 59
Sayyid Quthb dalam kitabnya Tafsir fi Zhilalil Qur’an, beliau menerangkan. Sesungguhnya kedaulatan hukum itu hanya milik Allah, bagi kehidupan manusia, dalam urusan yang besar maupun yang kecil. Untuk semua itu Allah telah membuat syariat yang dituangkannya dalam Al-Qur’an dan diutus-Nya Rasul yang tidak pernah berbicara memperturutkan hawa nawa nafsunya untuk menjelaskannya kepada manusia. Oleh karena itu syariat Rasulullah SAW termasuk syariat Allah.
Allah wajib ditaati. Diantara hak prerogatif uluhiyah ialah membuat syariat. Maka, syariat-Nya wajib dilaksanakan. Orang-orang yang beriman wajib taat kepada Allah sejak semula dan wajib taat pula kepada Rasulullah karena tugasnya itu, yaitu tugas mengemban risalah dari Allah. Karena itu mentaati Rasul berati mentaati Allah yang telah mengutusnya untuk membawa syariat dan menjelaskannya kepada manusia di dalam sunnahnya. Sunnah dan keputusan beliau dalam hal ini adalah bagian dari syariat Allah yang wajib dilaksanakan. Iman itu ada atau tidak adanya bergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syariat ini, sebagaimana dinyatakan dalam nash Al-Qur’an, “Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adapun mengenai Ulil Amri, nash tersebut menjelaskan siapa mereka itu,
“Serta Ulil Amri di antara kamu” [9]
 Maksudnya, Ulil Amri dari kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang  telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat itu, yaitu Ulil Amri yang taat kepada Allah dan Rasul. Juga Ulil Amri yang mengesakan Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak membuat syariat bagi seluruh umat manusia, menerima hukum dari-Nya saja (sebagai sumber dari segala sumber hukum) sebagaimana ditetapkan dalam nash, serta mengembalikan kepada-Nya segala urusan yang diperselisihkan oleh akal pikiran dan pemahaman mereka yang tidak terdapat nash padanya untuk menerapkan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam nash.
Nash ini menetapkan bahwa taat kepada Allah SWT merupakan pokok. Demikian juga taat kepada Rasul, karena beliau diutus oleh Allah. Sedangkan taat kepada Ulil Amri Minkum hanya mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul. Karena itulah lafadz taat (athi’u) tidak diulangi ketika menyebut Ulil Amri, sebagaimana ia diulangi ketika menyebut Rasul SAW, untuk menetpkan bahwa taat kepada Ulil Amri ini sebagai bentuk pengembangan dari taat kepada Allah dan Rasul, sesudah menetapkan bahwa Ulil Amri itu adalah “minkum” dari kalangan kamu sendiri, dengan catatan dia beriman dan memenuhi syarat-syarat iman.
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Tafsir Al-Munir beliau juga mengatakan, apabila ada pertentangan dan perbedaan pendapat anatara kalian dengan Ulil Amri dalam masalah agama dan penyelesaiannya tidak ada dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah, hendaknya masalah itu dicarikan rujukan dengan berpatokan kepada kaidah-kaidah umum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat dengan kaidah umum dapat dilaksanakan, sedangkan yang bertentangan dengan kaidah umum tersebut harus ditinggalkan. Cara seperti ini dalam ilmu ushul Fiqh diistilahkan dengan prosedur qiyas.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang di maksud Ulil Amri  para pemimpin dan panglima perang. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulul-Amri adalah para ulama yang bertugas menerapkan hukum-hukum syara’ kepda manusia. Adapun Syi’ah Imamiyyah menjelaskan bahwa yang dimaksud Ulil Amri adalah para pemimpin yang ma’shum.
Ibnu Al-Arabi berkata, “Menurutku”, pendapat yang tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa maksud Ulil Amri adalah para pemimpin dan para Ulama. Para pemimpin mempunyai kewajiban untuk memerintah dan menetapkan hukum. Adapun Ulama adalah orang yang berkompoten untuk ditanya (dalam permasalahan agama). Dia wajib menjawab dan fatwanya wajib dilaksanakan.[10]
Ar-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi (sekumpulan pakar yang mempunyai tugas menetapkan aturan atau membatalkannya). Dengan demikian, ayat tersebut menjadi dalil bagi ijma’ ulama.[11]
KESIMPULAN
Walaupun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul.
”Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka manjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (Q.S An-Nisa: 65).
Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW, berkata,
من أطا عني فقد أطاع الله, ومن عصاني فقد عصى الله, ومن يطع أميري فقد أطاع ني, ومن يعص أميري فقد عصاني.
“Barang siapa taat kepadaku, dia taat kepda Allah, dan barang siapa menetangku, dia menentang Allah, dan barang siapa taat kepda amirku maka dia taat kepdaku, dan barang siapa menentang amirku, maka dia menentangku.” (HR Bukhari dan Muslim)

DAFTAR PUSTAKA
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Al-Qur’an Kemenag, (Jakarta,2015)
Al-Qur’an dan Terjemahannya Perkata
Al-Wadi’i, Muqbil bin Hadi,  As-Shahih Al-Musnad Min Asbab An-Nuzul, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007)
Shaleh, Qamaruddin, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro,     1995)
Ibnu Jauziy, Jamaluddin, Zadu Al-Masir fi Ilmi Tafsir, (Lebanon: Dar Al-  Kotob  Al-Ilmiyah, 2002)
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2016)




[1] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an Kemenag, 2016
[2] Al-Qur’an dan Terjemahannya Perkata
[3] Ibnu Jauziy, Zaadu al-Masir fi Ilmi Tafsir, juz 1
[4] Qomaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, Hal. 139
[5] http://www.dakwahpost.com/2016/12/tafsir-at-thabari-asbabun-nuzul-sebab-turunnya-ayat-59-surat-annisa.html
[6] Qomaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, Hal. 139


[7] Qomaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, Hal. 139
[8] Qomaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, Hal. 139

[9] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qu’an, Jakarta: Gema Insani, jilid 2, hal. 399
[10] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jakarta: Gema Insani, Jilid 3, hal. 141
[11] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jakarta: Gema Insani, Jilid 3, hal. 141

Study Kitab Tafsir Klasik (Nazhm al-Durar)

KATA PENGANTAR Kepala sama berambut, kecerdasan beda. Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan bahwa isi kepala setiap orang pasti...