AL-MAJAZ FI-L-HADIST
Oleh: Fitra
Jaya, Sept. A
PENDAHULUAN
Memahami Hadist
Nabi adalah sesuatu yang penting kaitannya dengan bahasa, khususnya bahasa
Arab. Karena Hadist Nabi adalah sumber hukum kedua dalam syariat Islam setelah
Al-Qur’an. Dan telah menyebar luas pembelajaran tentang Hadist Nabi pada era
modern ini, yang kaitannya ada pada tiga hal; Yang pertama berkaitan dengan
Ilmu Mustholahul Hadist, kedua berkaitan dengan cara Mentakhrij Hadist, dan
yang ketiga berkenaan dengan Memahami
Hadist Nabi.
Memahami Hadist
dari segi lafadz nya atau dari segi maknanya, atau dari istilah lain dari segi
pengucapannya dan pemahamannya. Dapat difahami juga dari segi Tekstual dan
Kontekstual. Jika Hadist difahami secara lafadz maka selanjutnya adalah
penerapannya dalam diri masing, apabila di fahami dari makna majaziy maka
pengaamalannya pun menjadi kewajiban. Dan bila sebuah Hadist di fahami dari
keduanya secara lafdziyah atau maknawiyah, maka boleh memilih salah satu
darinya dalam pengamalannya.
Pada pembahasan
ini, kami akan menguraikan tentang Al-Majaz fi Al-Hadist, yang semua
pembahasannya di kutip dari kitab at-Thuruq as-Shohihah fi Fahmi al-Hadist. Ini
adalah bagian ketiga dari pembelajaran tentang Hadist Nabi.
PEMBAHASAN
Memahami arti
kata atau kalimat dalam Bahasa Arab sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi
seseorang pada saat ini, baik memahami secara makna yang sebenarnya (haqiqi)
ataupun memahami secara makna kiasan (majaziy). Di tinjau dari lafadznya Hadist
Nabi juga menggunakan bahasa arab, maka dalam memahaminya juga memahami secara
haqiqi ataupun majaziy.
Dan jika yang
di inginkan dalam Hadist Nabi adalah makna majaziy, maka memaknai secara makna
haqiqi buanlah maksud dari hadist tersebut. Dan tidaklah benar jika kita
mengerjakan atau mengamalkannya. Jika kita mengamalkannya dengan
memaknainya secara makna haqiqi, jelas
kita salah dalam memahami maksud dari hadist tersebut. Walaupun kita tidak di
nilai salah (dholal).
Untuk
memperjelas semua itu, perhatikan contoh-contoh Hadist berikut.
1. Hadist Panjang Tangan حديث أطوال اليد [1]
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِي أَطْوَلُكُنَّ
يَدًا ، قَالَتْ : فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا ، قَالَتْ :
فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ ، لِأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا
وَتَصَدَّقُ
Nabi Berkata: “Yang Paling Panjang
Tangannya”
a.
Menurut
Imam An-Nawawi
Sesungguhnya para istri Nabi menduga
bahwa yang dimaksud dengan panjang tangan disini adalah makna panjang tangan
sesungguhnya, yaitu panjang tangan sesuai ukuran anggota tubuh. Maka para istri
Nabi mengukur panjang tangan mereka dengan sebatang kayu, dan Saudah lah yang
paling panjang ukuran tangannya.
Sedangkan Zainab juga istri Nabi
yang paling panjang tangannya, dalam artian panjang tangan dalam bershodaqoh
dan bebuat kebaikan. Zainab adalah istri
Nabi yang lebih dulu meninggal di banding istri-istri Nabi yang lain. Dapat
diketahui bahwa maksud dari panjang tangan disini adalah panjang tangan dalam
bershodaqoh dan dermawan.
b.
Menurut
Ibnu Hajar Al-Asqolani
Dalam kitab Fath Al-Bari beliau
berkata: Hadist yang diriwayatkan oleh Hakim dalam bab Manaqib dalam
mustadraknya. Aisyah berkata: Sesungguhnya kami para istri Nabi berkumpul di
rumah salah satu dari kami, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Kami mengukur
panjang tangan kami di dinding, dan kami melakukan hal itu sampai Zainab binti
Jahsyin wafat. Dan dia adalah perempuan yang mempunyai ukuran panjang lengan
tangan paling pendek (fisik) di antara kami.
Maka kami mengerti bahwa yang di
maksud oleh Nabi dengan panjang tangan ketika itu adalah bershodaqoh. Dan
Zainab adalah wanita yang terampil, menyamak kulit, menjahit, dan bershodaqoh
di jalan Allah.
c.
Menurut
Ahli Bahasa
Paraa Ahli Bahasa berpendapat bahwa,
“Dikatakan bahwa Fulan adalah orang yang panjang tangannya dan orang yang
dermawan”, lawan dari itu adalah pendek tangannya. Maka apa yang difahami oleh
para istri Nabi ketika itu bukanlah makna yang sesungguhnya, karena makna dari
panjang tangan sesungguhnya adalah panjang tangan secara fisik (anggota badan).
Sedangkan yang dimaksud oleh Nabi adalah makna majaziy (kiasan).
2. Hadist Pembelengguan Syaitan [2] حديث تصفيد الشيا طين
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ ، فُتِّحَتْ أَبْوَابُ
الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِين
Pada hadist
sebelumnya tidak di perkenankan menyampaikannya kecuali dengan makna majaziy,
dan makna yang sebenrnya (haqiqi) bukanlah maksud dari hadist tersebut. Maka
hadist berikutnya di perkenankan menyampaikannya dengan keduanya, baik secara
makna haqiqi ataupun makna majaziy.
Sebagaimana
firman Allah SWT, bahwa Syaitan terdiri dari dua jenis yakni Jin dan Manusia.
وكذالك جعلنا لكلّ نبيّ عدوّا الشياطين الإنس و الجنّ
”Dan demikianlah untuk setiap
Nabi, kami jadikan musuh setan-setan yang terdiri dari manusia dan jin”
Manusia adalah
makhluk yang berwujud, sedangkan jin tidak berwujud. Dan dapat diketahui bahwa
tidak ada syaitan dari jenis manusia yang di belenggu atau di rantai tangannya
ketika bulan ramadhan. Bagaimana dengan Syaitan dari jenis jin? Karena Rantai
adalah suatu yang berwujud, sedangkan jin tidak berwujud. Apakah mungkin suatu
yang tidak berwujud di rantai dengan suatu yang berwujud?
Menurut
Al-Qodhi ‘Iyadh hadist ini dapat di fahami secara makna haqiqi yaitu terbukanya
pintu surga dan tertutupnya pintu neraka dan di belenggunya syaitan adalah
salah satu tanda masuknya bulan Ramadhan dan sebagai penghormatan atas bulan
suci Ramadhan. Dan dibelenggunya syaitan adalah untuk mencegah orang mu’min
dari gangguan dan godaan syaitan.
Beliau juga
berpendapat bahwa hadist ini dapat di fahami secara makna majaziy, yaitu
sebagai isyaratakan banyaknya pahala dan juga ampunan. Dan supaya syaitan
tidak dapat mengganggu manusia maka di
ibaratkannlah seperti manusia yang dibelenggu, mereka dibelenggu untuk sesuatu
dan tidak sesuatu yang lain.
Al-Qodhi juga
berkata bahwa terbukanya pintu surga adalah tanda terbukanya pintu ketaatan di
dalam bulan yang suci ini, yang tidak terjadi selain pada bulan ramadhan
umumnya, seperti puasa, tarawih, dan perbuatan mulia yang lainnya.
Singkat kata
bahwa, siapa yang memaknai hadist ini dengan makna haqiqi tidak di
permasalahkan, begitupun yang memaknainya secara majaziy, bila mana ada yang
memaknainya dengan kedua makna (haqiqi-majaziy) di perbolehkan.
3. Hadist Aroma Mulut Orang Berpuasa [3]حديث خلوف فم الصائم
الصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ فَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا ، فَلَا
يَجْهَلْ يَوْمَئِذٍ ، وَإِنِ امْرُؤٌ جَهِلَ عَلَيْهِ فَلَا يَشْتُمْهُ وَلَا
يَسُبَّهُ وَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ
لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ ، أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْك
Hadist tentang
Aroma mulut orang yang berpuasa ini di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan juga
yang lainnya. Ada beberapa pendapat ulama’ yang menjelaskan tentang hadist ini.
Menurut Imam
Nawawi dalam syarah (penjelasan) shahih Muslim, kata "خلفة" dan "خلوف"
berarti berubahnya bau aroma mulut. Kemudian mengenai makna hadist, menurut
riwayat Al-Qodhi ‘Iyadh, Al-Mazariy berkata: Bahwa Hadist ini berupa Majaz
Isti’arah. Karena menjadikan sesuatu beraroma harum adalah sifat dari makhluk,
apabila ada aroma harum ia menyukainya dan jika ada sesuatu yang tidak sedap
atau menjijikkan ia menjauhinya.
Kemudian
Al-Qodhi juga berkata bahwa, dalam hal ini Allah SWT akan memmbalasnya di
akhirat. Maka aromanya lebih wangi dari aroma misk(kasturi), seperti hal nya
darah paara syuhada’ aromanya seperti aroma kasturi. Dan dikatakan bahwa orang
yang berpuasa akan mendapat pahala yang lebih dari pada orang yang memakai
minyak wangi kasturi. Dan aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi disisi
Malaikat dari pada aroma di sisi kita. Meskipun pada hakikatnya tidak sedap
aromanya menurut kita.
Pernyataan yang
lebih benar adalah pernyataan yang dikemukakan oleh Ad-Dawudi dari Al-Maghribi:
Aroma mulut orang yang berpuasa lebih banyak pahalanya dari pada aroma kasturi
yang pemakaiannya di anjurkan pada hari jum’at, hari raya, majlis hadist dan
dzikir dan semua tempat perkumpulan atau majlis kebaikan.
Ibnu Hajar
Al-Asqolani juga berkata: Bahwasannya Imam An-Nawawi lebih condong pada makna
yang terakhir ini, dikarenakan makna thayyib diartikan penerimaan dan ridho
dari Allah SWT.
4. Contoh Hadist Lain
Surga dibawah
Telapak Kaki Ibu
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " الْجَنَّةُ تَحْتَ
أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ"
PENUTUP
Pemahaman
mengenai Hadist Nabi mencakup 3 hal, diantaranya:
1.
Hadist
yang dapat difahami secara makna hakiki (lafdiyah)
2.
Hadist
yang difahami secara makna majaziy (kiasan)
3.
Hadist
yang dapat difahami dengan kedua-duanya, secara hakiki atau majaziy.
DAFTAR PUSTAKA
-Ya’qub, Ali Musthofa. Al-Thuruq
As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah
An- Nabawiyah, 2016, Jakarta, Maktabah Darussunnah.
-Kamus Al-Munjidu fi Al-Lughoh wa
Al-A’lam
-Atabik Ali, A Zuhdi Muhdlor, Kamus
Al-Ashri (Kontemporer)
Arab Indonesia,
Multi Karya Grafika.
[1] Ali Musthofa
Ya’qub, Al-Thuruq As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah, 2016, Jakarta,
Maktabah Darussunnah. hlm. 23
[2]
Ali Musthofa
Ya’qub, Al-Thuruq As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah, 2016, Jakarta,
Maktabah Darussunnah. hlm. 26
[3] Ali Musthofa
Ya’qub, Al-Thuruq As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah, 2016, Jakarta,
Maktabah Darussunnah. hlm. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar