Jumat, 01 Desember 2017

Al-Majaz fi-l-Hadist

AL-MAJAZ FI-L-HADIST
Oleh: Fitra Jaya, Sept. A

PENDAHULUAN
Memahami Hadist Nabi adalah sesuatu yang penting kaitannya dengan bahasa, khususnya bahasa Arab. Karena Hadist Nabi adalah sumber hukum kedua dalam syariat Islam setelah Al-Qur’an. Dan telah menyebar luas pembelajaran tentang Hadist Nabi pada era modern ini, yang kaitannya ada pada tiga hal; Yang pertama berkaitan dengan Ilmu Mustholahul Hadist, kedua berkaitan dengan cara Mentakhrij Hadist, dan yang ketiga berkenaan dengan  Memahami Hadist Nabi.
Memahami Hadist dari segi lafadz nya atau dari segi maknanya, atau dari istilah lain dari segi pengucapannya dan pemahamannya. Dapat difahami juga dari segi Tekstual dan Kontekstual. Jika Hadist difahami secara lafadz maka selanjutnya adalah penerapannya dalam diri masing, apabila di fahami dari makna majaziy maka pengaamalannya pun menjadi kewajiban. Dan bila sebuah Hadist di fahami dari keduanya secara lafdziyah atau maknawiyah, maka boleh memilih salah satu darinya dalam pengamalannya.
Pada pembahasan ini, kami akan menguraikan tentang Al-Majaz fi Al-Hadist, yang semua pembahasannya di kutip dari kitab at-Thuruq as-Shohihah fi Fahmi al-Hadist. Ini adalah bagian ketiga dari pembelajaran tentang Hadist Nabi.

PEMBAHASAN
Memahami arti kata atau kalimat dalam Bahasa Arab sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi seseorang pada saat ini, baik memahami secara makna yang sebenarnya (haqiqi) ataupun memahami secara makna kiasan (majaziy). Di tinjau dari lafadznya Hadist Nabi juga menggunakan bahasa arab, maka dalam memahaminya juga memahami secara haqiqi ataupun majaziy.
Dan jika yang di inginkan dalam Hadist Nabi adalah makna majaziy, maka memaknai secara makna haqiqi buanlah maksud dari hadist tersebut. Dan tidaklah benar jika kita mengerjakan atau mengamalkannya. Jika kita mengamalkannya dengan memaknainya  secara makna haqiqi, jelas kita salah dalam memahami maksud dari hadist tersebut. Walaupun kita tidak di nilai salah (dholal).
Untuk memperjelas semua itu, perhatikan contoh-contoh Hadist berikut.
1. Hadist Panjang Tangan حديث أطوال اليد [1]
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِي أَطْوَلُكُنَّ يَدًا ، قَالَتْ : فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا ، قَالَتْ : فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ ، لِأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ
Nabi Berkata: “Yang Paling Panjang Tangannya”
a.       Menurut Imam An-Nawawi
Sesungguhnya para istri Nabi menduga bahwa yang dimaksud dengan panjang tangan disini adalah makna panjang tangan sesungguhnya, yaitu panjang tangan sesuai ukuran anggota tubuh. Maka para istri Nabi mengukur panjang tangan mereka dengan sebatang kayu, dan Saudah lah yang paling panjang ukuran tangannya.
Sedangkan Zainab juga istri Nabi yang paling panjang tangannya, dalam artian panjang tangan dalam bershodaqoh dan bebuat kebaikan.  Zainab adalah istri Nabi yang lebih dulu meninggal di banding istri-istri Nabi yang lain. Dapat diketahui bahwa maksud dari panjang tangan disini adalah panjang tangan dalam bershodaqoh dan dermawan.
b.      Menurut Ibnu Hajar Al-Asqolani
Dalam kitab Fath Al-Bari beliau berkata: Hadist yang diriwayatkan oleh Hakim dalam bab Manaqib dalam mustadraknya. Aisyah berkata: Sesungguhnya kami para istri Nabi berkumpul di rumah salah satu dari kami, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Kami mengukur panjang tangan kami di dinding, dan kami melakukan hal itu sampai Zainab binti Jahsyin wafat. Dan dia adalah perempuan yang mempunyai ukuran panjang lengan tangan paling pendek (fisik) di antara kami.
Maka kami mengerti bahwa yang di maksud oleh Nabi dengan panjang tangan ketika itu adalah bershodaqoh. Dan Zainab adalah wanita yang terampil, menyamak kulit, menjahit, dan bershodaqoh di jalan Allah.
c.       Menurut Ahli Bahasa
Paraa Ahli Bahasa berpendapat bahwa, “Dikatakan bahwa Fulan adalah orang yang panjang tangannya dan orang yang dermawan”, lawan dari itu adalah pendek tangannya. Maka apa yang difahami oleh para istri Nabi ketika itu bukanlah makna yang sesungguhnya, karena makna dari panjang tangan sesungguhnya adalah panjang tangan secara fisik (anggota badan). Sedangkan yang dimaksud oleh Nabi adalah makna majaziy (kiasan).
2. Hadist Pembelengguan Syaitan [2] حديث تصفيد الشيا طين
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ :  إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ ، فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِين
Pada hadist sebelumnya tidak di perkenankan menyampaikannya kecuali dengan makna majaziy, dan makna yang sebenrnya (haqiqi) bukanlah maksud dari hadist tersebut. Maka hadist berikutnya di perkenankan menyampaikannya dengan keduanya, baik secara makna haqiqi ataupun makna majaziy.
Sebagaimana firman Allah SWT, bahwa Syaitan terdiri dari dua jenis yakni Jin dan Manusia.
وكذالك جعلنا لكلّ نبيّ عدوّا الشياطين الإنس و الجنّ
Dan demikianlah untuk setiap Nabi, kami jadikan musuh setan-setan yang terdiri dari manusia dan jin”

Manusia adalah makhluk yang berwujud, sedangkan jin tidak berwujud. Dan dapat diketahui bahwa tidak ada syaitan dari jenis manusia yang di belenggu atau di rantai tangannya ketika bulan ramadhan. Bagaimana dengan Syaitan dari jenis jin? Karena Rantai adalah suatu yang berwujud, sedangkan jin tidak berwujud. Apakah mungkin suatu yang tidak berwujud di rantai dengan suatu yang berwujud?
Menurut Al-Qodhi ‘Iyadh hadist ini dapat di fahami secara makna haqiqi yaitu terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu neraka dan di belenggunya syaitan adalah salah satu tanda masuknya bulan Ramadhan dan sebagai penghormatan atas bulan suci Ramadhan. Dan dibelenggunya syaitan adalah untuk mencegah orang mu’min dari gangguan dan godaan syaitan.
Beliau juga berpendapat bahwa hadist ini dapat di fahami secara makna majaziy, yaitu sebagai isyaratakan banyaknya pahala dan juga ampunan. Dan supaya syaitan tidak  dapat mengganggu manusia maka di ibaratkannlah seperti manusia yang dibelenggu, mereka dibelenggu untuk sesuatu dan tidak sesuatu yang lain.
Al-Qodhi juga berkata bahwa terbukanya pintu surga adalah tanda terbukanya pintu ketaatan di dalam bulan yang suci ini, yang tidak terjadi selain pada bulan ramadhan umumnya, seperti puasa, tarawih, dan perbuatan mulia yang lainnya.
Singkat kata bahwa, siapa yang memaknai hadist ini dengan makna haqiqi tidak di permasalahkan, begitupun yang memaknainya secara majaziy, bila mana ada yang memaknainya dengan kedua makna (haqiqi-majaziy) di perbolehkan.
3. Hadist Aroma Mulut Orang Berpuasa [3]حديث خلوف فم الصائم
الصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ فَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا ، فَلَا يَجْهَلْ يَوْمَئِذٍ ، وَإِنِ امْرُؤٌ جَهِلَ عَلَيْهِ فَلَا يَشْتُمْهُ وَلَا يَسُبَّهُ وَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ ، أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْك
Hadist tentang Aroma mulut orang yang berpuasa ini di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan juga yang lainnya. Ada beberapa pendapat ulama’ yang menjelaskan tentang hadist ini.
Menurut Imam Nawawi dalam syarah (penjelasan) shahih Muslim, kata   "خلفة" dan "خلوف" berarti berubahnya bau aroma mulut. Kemudian mengenai makna hadist, menurut riwayat Al-Qodhi ‘Iyadh, Al-Mazariy berkata: Bahwa Hadist ini berupa Majaz Isti’arah. Karena menjadikan sesuatu beraroma harum adalah sifat dari makhluk, apabila ada aroma harum ia menyukainya dan jika ada sesuatu yang tidak sedap atau menjijikkan ia menjauhinya.
Kemudian Al-Qodhi juga berkata bahwa, dalam hal ini Allah SWT akan memmbalasnya di akhirat. Maka aromanya lebih wangi dari aroma misk(kasturi), seperti hal nya darah paara syuhada’ aromanya seperti aroma kasturi. Dan dikatakan bahwa orang yang berpuasa akan mendapat pahala yang lebih dari pada orang yang memakai minyak wangi kasturi. Dan aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi disisi Malaikat dari pada aroma di sisi kita. Meskipun pada hakikatnya tidak sedap aromanya menurut kita.
Pernyataan yang lebih benar adalah pernyataan yang dikemukakan oleh Ad-Dawudi dari Al-Maghribi: Aroma mulut orang yang berpuasa lebih banyak pahalanya dari pada aroma kasturi yang pemakaiannya di anjurkan pada hari jum’at, hari raya, majlis hadist dan dzikir dan semua tempat perkumpulan atau majlis kebaikan.
Ibnu Hajar Al-Asqolani juga berkata: Bahwasannya Imam An-Nawawi lebih condong pada makna yang terakhir ini, dikarenakan makna thayyib diartikan penerimaan dan ridho dari Allah SWT.
4. Contoh Hadist Lain
Surga dibawah Telapak Kaki Ibu
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " الْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ"

PENUTUP
Pemahaman mengenai Hadist Nabi mencakup 3 hal, diantaranya:
1.      Hadist yang dapat difahami secara makna hakiki (lafdiyah)
2.      Hadist yang difahami secara makna majaziy (kiasan)
3.      Hadist yang dapat difahami dengan kedua-duanya, secara hakiki atau majaziy.

DAFTAR PUSTAKA
-Ya’qub, Ali Musthofa. Al-Thuruq As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah
An- Nabawiyah, 2016, Jakarta, Maktabah Darussunnah.
-Kamus Al-Munjidu fi Al-Lughoh wa Al-A’lam
-Atabik Ali, A Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-Ashri (Kontemporer)
Arab Indonesia, Multi Karya Grafika.










[1]  Ali Musthofa Ya’qub, Al-Thuruq As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah, 2016, Jakarta, Maktabah Darussunnah. hlm. 23

[2] Ali Musthofa Ya’qub, Al-Thuruq As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah, 2016, Jakarta, Maktabah Darussunnah. hlm. 26

[3] Ali Musthofa Ya’qub, Al-Thuruq As-Shohihah fi Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah, 2016, Jakarta, Maktabah Darussunnah. hlm. 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Study Kitab Tafsir Klasik (Nazhm al-Durar)

KATA PENGANTAR Kepala sama berambut, kecerdasan beda. Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan bahwa isi kepala setiap orang pasti...